Transfusi Pertama
Anno, 1969
Maka selanjutnya, inilah Jakarta. Kami perantau. Sikap orang Jakarta begitu apriori; lu-lu, gue-gue. Aku merasakan betul apa arti hidup sebagai pendatang ditambah miskin pula. Sungguh, kami merasai hari-hari yang sarat dengan nestapa.
Di sekolah teman-teman sering mengejek.
“Kampungan! No-raaak!” seru si Jefry Sani sambil menjegal kakiku dan… Bluuug!
Aku pun terjatuh mencium aspal.
Sekali, dua kali memang aku biarkan pelecehan itu. Sampai kemudian aku bangkit melawannya. Bukan dengan kekerasan melainkan dengan otak. Ya, itulah yang bisa aku andalkan. Dalam beberapa minggu saja aku sudah bisa menguasai keadaan. Termasuk menguasai pelajaran.
Siapa bilang anak daerah harus selalu kalah oleh anak metropolitan? Saat itulah aku semakin menyadari. Pengetahuan yang aku pernah peroleh dari buku-buku bacaan, sungguh tak ternilai harganya. Dengan otak cemerlang kita bisa dihargai dan dihormati orang. Kata-kata Bapak ada benarnya juga. Sejak itu tak ada seorang anak pun yang berani melecehkan aku lagi!
Anehnya, ketika itu, kesehatanku terasa baik-baik saja. Bahkan Bapak sampai menjuluki aku si Kuda. Biasanya dibalik jadi si Aduk. Saking kuatnya, tahan banting, tahan kerja keras. Setidaknya, saat itu akulah anaknya yang paling bisa diandalkan. Wooow!
Apabila ada kesempatan untuk membesuk Mak di rumah sakit, aku akan menggiring adik-adik. Rame-rame kami naik bis kota. Di tengah perjalanan dari RSPAD kami akan saling mengobrol, menanyakan cita-cita kelak. Ada yang ingin jadi Nyonya Besar, Bu Guru sampai jadi tukang roti. Sedangkan aku ingin menjadi Kowad. Kami tak pernah mengira. Ternyata di kemudian hari ada sebagian cita-cita kami yang terkabulkan.
Akhirnya perjalanan nan panjang itu pun berakhir sudah. Fheeewww! Kami sampai di rumah kontrakan larut malam, ambruk semuanya. Tanpa Mak dan Bapak.
Untuk beberapa waktu kemudian kami harus pasrah. Tidak bisa bertemu Mak sering-sering. Selain sangat repot, capek, ongkosnya itu, Bo!
Mak akhirnya selamat melahirkan si Bungsu. Diberi nama Emmy Martini Arief. Mak langsung harus mengikuti program KB alias Keluarga Berencana. Program Pemerintah yang belum lama digalakkan saat itu. Keharusan itu diterapkan secara ketat pada keluarga besar prajurit TNI/AD.
Rupanya penderitaan baru diawali dalam keluargaku. Tak berapa lama setelah Mak melahirkan, giliranku yang jatuh sakit lagi. Kali ini parah sekali, harus diopname di RSPAD. Pelbagai macam tes dilakukan. Peralatan kedokteran sudah lebih canggih. Saat itulah baru diketahui penyakitku yang sebenarnya. Bukan cacingan, bukan malaria, dan sama sekali bukan penyakit kuning.
“Putri Bapak mengidap penyakit kelainan darah bawaan, talasemia,” vonis dokter Qomariah.
“Apa artinya, dokter?”
“Penyakit kelainan darah bawaan, genetik. Penderitanya tak bisa memproduksi darah secara normal…”
“Bisa disembuhkan, dokter?”
“Ini penyakit seumur hidup. Artinya, anak Bapak harus ditransfusi secara berkala seumur hidupnya!”
Aku bisa merasakan. Bagaimana hancur hati Bapak mengetahui kenyataan itu. Sepasang tangannya yang kukuh, aku lihat gemetar hebat. Kurasa, saat itulah untuk pertama kalinya ayahku menyadari betul, bagaimana tak berdayanya putri sulungnya. Wajahku sangat pucat bak mayat. Perut buncit mirip orang hamil dan peralatan transfusi tergantung di samping ranjang.
“Takaran darah atau HB kamu hanya empat setengah persen gram,” kata Suster Patty, kepala ruangan, seorang perempuan Ambon.
“Apa artinya, Bu Suster?” tanyaku takut-takut.
“Jadi kamu harus ditransfusi sebanyak mungkin. Biar takaran darahmu normal kembali. Kamu juga cacingan dan kekurangan gizi. Kelihatannya kamu harus tinggal lama di sini!”
Hiiiy, serasa berada dalam cengkeraman si Samber Nyawa!
Aku takut sekali kepadanya. Di mataku, perawat Ambon itu galaknya minta ampun. Umurnya sudah tua, rambutnya keriting gimbal, perawakannya tinggi kekar. Sikapnya judes, kalau berjalan tampak seperti orang sedang baris. Ngomongnya keras, suaranya lantang dan ia memang senang berteriak-teriak, main perintah. Konon, dia mantan seorang prajurit.
Kalau menginjeksi, jeees, jeees, jeees….
Huh! Mana dalam seharinya bisa dua kali lagi diinjeksi…
“Gustiii… suuuaaakiiit buangeeett!” aku hanya bisa mengeluh dalam hati, air mataku berlinangan, tak ada yang menghiburku.
Saat itu mencari donor darah sangat sulit. Harus donor langsung, bisa dicari dari keluarga, kerabat atau teman. Bapak beruntung dihormati dan disayangi oleh anak buahnya. Tanpa banyak kesulitan Bapak berhasil membawa pasukan kecilnya ke RSPAD. Para prajurit itu menyumbangkan darah untukku. Kalau sudah diambil darah di PMI, mereka pun rame-rame mampir keruang rawatku.
Di sini masih juga mereka memberikan sumbangan yang lain. Ada yang berupa makanan ringan, susu, penganan, dan buku-buku bacaan. Yang terakhir itulah yang paling aku sukai. Subhanallah, betapa mulia hati para prajurit itu. Hanya Allah Swt. yang bisa membalas budi baik mereka. Terima kasih, semoga bapak-bapak prajurit itu mendapat balasan pahala berlipat-lipat dari Allah Swt.
Ada pengalaman yang tak terlupakan saat pertama kali diopname. Hari kedua aku harus menjalani tindak medis yang biasa disebut BMP, entah singkatan apa, intinya diambil cairan sumsum dari dadaku.
Aku menjerit-jerit kesakitan sambil menyeru asma-Nya.
“Allaaahu Akbaaar! Allahu Akbaaar!”
Esoknya aku mulai menjalani transfusi, sungguh, aku ingat sekali tak ada yang menemani. Perawat mulai memasang selang transfusi sekitar pukul sepuluh pagi. Tangan yang sedang menerima aliran darah ditutupi perban. Dari ujung jari sampai sebatas pangkal lengan. Diletakkan di atas sebilah papan kecil. Persis orang yang sedang patah tangannya!
Aku menangis ditahan dan merasa sangat ketakutan. Belum ada yang datang membesuk, Bapak harus dinas setelah semalam menungguiku. Mak terpaksa hanya sesekali membesuk, karena belum lama melahirkan. Kondisi Mak juga tak begitu baik.
Aku harus tabah menanggung rasa sakit itu seorang diri. Tak bisa aku lukiskan, bagaimana sengsaranya menangung keadaan itu. Tak boleh bergerak banyak, bahkan duduk pun dilarang. Alasannya, biar jalan darahnya lancar, tidak macet… aarrggh!
Beberapa jam aku masih bisa bertahan, nyaris tak bergerak sama sekali. Tapi lama-kelamaan terasa ada yang mencucuk-cucuk, menggerogoti di bagian pangkal lenganku. Rasanya gatal bukan main, gataaal!
“Ini gataaal…. Gataaaal!” aku menjerit tak tahan lagi.
Ibu-ibu berlarian menghampiriku dan heboh membujuk.
“Tolong…gataaal…” aku mengerang.
“Gatal, ya?”
“Coba kita intip saja…”
“Iya, ada apa sih di balik perbannya itu?” usul seorang ibu, terdengar penasaran.
Ibu itu memeriksa perban yang membalut seluruh lenganku, sehingga tampak seperti patah tulang. Perlahan-lahan dikuak sedikit dan…bruuul!
“Tumbilaaaa!”
“Bangsaaat… eeeh, kutu busuuuk!”
Ruangan itu mendadak heboh. Kurasa, bahna syok dan ngeri melihat gerombolan kutu busuk atau karena takaran darah terlalu rendah, seketika itu juga aku semaput!
Begitu siuman kutemukan diriku sudah nyaman, aroma minyak kayu putih yang segar menyeruak hidungku. Dua orang ibu masih memperhatikanku dari sebelah-menyebelah ranjangku. Keduanya langsung tersenyum begitu melihat aku memicingkan mata.
“Tenang, ya Neng… kita sudah urus kutu busuknya!” ujar ibu yang satu, aku tak ingat siapa namanya.
“Sekarang mendingan tidur saja lagi, ya…” bujuk ibu satunya lagi, entah siapa pula dia.
Kemudian kusadari bahwa ibu-ibu yang menunggui pasien di bangsal 14 itu ternyata ramah-ramah dan perhatian. Mereka sama berusaha menenangkan hatiku, meringankan penderitaanku.
Ada yang memberi buah-buahan, ada juga yang menghadiahiku kue-kue dan coklat. Mereka pasti bisa melihat, lemari kecil di samping ranjangku hampir tak ada isinya selain termos dan gelas. Tak seperti lemari lainnya di bangsal itu. Ada banyak makanan, kue kaleng, dan buah-buahan segar. Mereka pun tentu tahu, aku satu-satunya pasien kecil di situ yang tak pernah dibesuk selain oleh Bapak dan Mak.
Sebenarnya Mak punya kaum famili lumayan banyak di Jakarta. Bahkan beberapa di antaranya termasuk orang berada. Namun, entah mengapa tak seorang pun dari mereka yang sudi membesuk aku.
Masa-masa diopname untuk pertama kalinya itu, bagiku serasa bagaikan hidup di dalam kerangkeng. Kalau sudah pernah, barangkali seperti itulah rasanya dipenjara. Aku takkan melupakan bagaimana raut wajah ayahku saat menyampaikan kondisi kesehatanku.
“Dirawat… bagaimana, Pak?” tanyaku belum paham.
“Teteh,” demikian aku sekarang dipanggil oleh orang tua dan adik-adikku, panggilan kesayangan karena aku anak sulung. “Diopname di sini, artinya tidak boleh pulang untuk sementara. Karena para dokter akan mengobati penyakitmu. Teteh mau sehat lagi, bukan?” ujar Bapak, entah mengapa di kupingku suaranya terdengar agak bergetar.
“Iya, Neng, mendingan juga dirawat, ya… Di rumah mah kita gak bisa apa-apa kalau melihatmu kesakitan,” sambung Emak.
“Kalau Teteh tinggal di sini… apa ada yang nungguin?” tanyaku mulai diterpa rasa cemas dan takut.
“Bapak akan menunggumu kalau malam…”
“Dan tidak sedang dinas,” ibuku menukas kalimat ayahku.
Takaran darahku hanya 4 % gram. Tak boleh tidak, aku harus segera ditransfusi. Meskipun menangis sejadi-jadinya dan mencoba untuk berontak, tapi tenagaku memang tak seberapa. Entah dengan pertimbangan apa, mungkin juga tak ada tempat di bangsal anak, aku ditempatkan di bangsal 14 untuk pasien dewasa.
“Sekarang kamu harus mengikuti kata-kata dokter dan aturan rumah sakit, makan obat yang teratur. Biar cepat pulang, sehat dan sekolah lagi,” ujar ibuku sebelum pulang, tangannya yang lembut megusap-usap kepalaku sepenuh sayang.
“Bapak juga harus balik lagi ke kantor. Nanti malam Bapak ke sini,” janji ayahku. Maklum, seorang tentara punya kewajiban mutlak sesuai sumpah prajurit; lebih mengutamakan tugas dari apapun jua.
Aku hanya mengangguk pelan. Kasihan Bapak, pikirku, jadi bertambah beban di pundaknya. Bukan diriku saja yang dikhawatirkannya, kondisi ibuku pun sungguh memrihatinkan. Keadaan ekonomi kami morat-marit. Sementara kedudukan Bapak di kantornya yang baru pun tentu belum ajeg benar. Bapak baru dimutasikan dari Kodam Siliwangi ke Kodam Jaya. Acapkali aku merasa, orang tuaku sudah tak mampu memberiku makanan yang sehat, karena itu lebih baik menitipkanku di rumah sakit.
Lepas dari teror gerombolan kutu busuk itu, sebagai pengalih rasa sakit dan kesedihan, aku mulai “mencari-cari urusan” dengan memperhatikan suasana sekitarku. Ruangan luas itu dihuni oleh lima belas pasien. Kecuali aku, semuanya perempuan dewasa dengan penyakit macam-macam. Ranjangku nomer dua di sebelah kiri pintu.
Di seberangku ada seorang pasien yang senang betul mengawasiku. Para pasien memanggilnya Ani, sebelah kakinya buntung, berpenyakit paru-paru. Belakangan kutahu Ani adalah tapol Gerwani, titipan polisi militer. Melihat sorot matanya yang menyipit terkesan licik, perasaanku jadi tak nyaman setiap kali dia menghampiri.
Dalam beberapa jam saja dia bolak-balik menghampiriku. Mulutnya meruapkan bau busuk, ditambah sering mengeluarkan kalimat-kalimat tajam, meneror.
“Hei… anak kecil, bapak kamu itu komandan, ya?”
“Di mana tugas bapak kamu… pernah ke Madiun gak?”
“Madiun itu kampungku, tahu gak kamu!”
“Niiih… kakiku dibuntungi tentara-tentara keparat!”
“Ya, tentara-tentara itu bangsaaat!”
“Di sini kamu jangan manja, ya! Ada suster Pati, orang Ambon. Guaaalaaak!”
“Nanti kamu disuntik-suntik, dibius, dipotong-potong… sama dia!”
“Terus diangkut ke kamar mayat… mau kamu dibegitukan?”
Anda bisa bayangkan bagaimana takutnya diriku. Jantungku yang telah dibuat bekerja lebih keras akibat kurang darah, kurasakan semakin berdegupan kencang. Perutku pun mulai terasa mulas dan perih.
Mujurlah, ada seorang nenek di seberang ranjangku. Dia menunggui putrinya, kelihatannya ada perhatian pula terhadapku. Kadang aku sengaja mengerang kalau diomongin macam-macam oleh Ani. Nenek itu curiga agaknya. Maka, jika dilihatnya si Gerwani itu bergerak ke arahku, ibu tua itu pun perlahan tapi pasti ikut bergerak meningkahi gerakannya.
“Ani, jangan macam-macam!” katanya mengingatkan. “Anak ini lagi sakit, kamu jangan tambah penderitaannya, ya… Awas, kulaporkan kamu sama PM di depan sana!” Maksudnya polisi militer yang memang selalu ada di pos depan.
“Dasar nenek-nenek cerewet! Otaknya ngeres saja, nenek sihiiir!”
Ani sambil bersungut-sungut membawa kakinya yang pincang menjauhi ranjangku. Takut juga rupanya tapol itu kepada ibunya seorang letnan.
“Terima kasih, Nek,” kataku dengan air mata berlinang.
“Kalau ada apa-apa jangan diam saja, ya Neng. Teriak saja panggil Nenek,” ujarnya terdengar tulus, kemudian ia kembali ke sisi ranjang anaknya yang telah berbulan-bulan dirawat karena kanker rahim.
Selama aku dirawat ibuku jarang menjenguk. Hanya ayahku yang setiap pagi dan sore mampir. Biasanya ayahku akan membawakanku kue-kue dan cemilan yang belakangan kutahu, semuanya itu hasil ibuku berhutang ke warung Abah. Adik-adik pun hanya seminggu sekali, secara bergantian dibawa oleh Bapak menjengukku.
@@@
Dokter Qomariyah mendiagnosaku, Thallasemia kelainan darah bawaan. Cacat genetik yang harus ditransfusi darah secara berkala seumur hidup.