Pipiet Senja
#CintaDalamSujudku
Menjelang pagi itu ada dua nyawa yang tengah berjuang di ruang operasi RSU Sumedang. Tim dokter yang diperkuat dokter Suebu Bowa, dibantu para perawat telah berjuang pula semampu mereka. Namun, semuanya hanya tunduk kepada Sang Takdir.
“Bagaimana keadaan mereka, dokter?” Bimo menyambut Suebu dan Haekal yang beriringan keluar dari ruang operasi.
Kedua dokter muda itu terdengar menghela napas dalam-dalam. Haekal malah memberi isyarat kepada Suebu, agar memberi penjelasan kepada keluarga pasien. Suebu dengan bijak membimbing lelaki paro baya itu untuk kembali ke bangkunya.
“Kami sudah berbuat semaksimal mungkin…”
“Mereka meninggal, ya? Sunguhkah kedua putriku meninggal?” cecar Bimo.
Fathur, Danang, Henry, dan Mardo yang menemani Bimo sejak akhir peristiwa penyanderaan sepanjang malam itu, hanya tertunduk. Fathur seketika merangsek dan mendekati lelaki sepuh itu. Ia merangkul bahunya yang ringkih, mengalirkan sisa semangat dan kekuatan yang masih dimilikinya.
“Tolong jelaskan secara rinci, dokter,” pintanya terdengar formal, menatap wajah Suebu dan Haekal bergantian.
Bimo mengagguk dan merasa mendapat suntikan semangat.
“Tidak, Pak Bimo, mereka masih hidup, tapi.…” Haekal melirik rekannya.
Suebu melanjutkan, “Dik Syifa harus kehilangan tangan kirinya sebatas siku…”
“Ya Allah!” Fathur memekik tertahan. “Ini kesalahanku! Aku sudah menarik tangannya tak sengaja…, ya Allah!”
“Jangan salahkan dirimu, anak muda,” kata Bimo terdengar pasrah. “Kamu justru sudah menyelamatkannya dari todongan pistol si Codet.”
“Ya, lagipula sebelumnya sudah terjadi pembusukan,” jelas Haekal. “Sejak awal keretakannya kami sudah mengingatkan, agar lengannya tak terbentur, ini malah lebih dari itu…”
“Bagaimana kondisi Siska?” Bimo tak sabar lagi.
Sesaat kedua dokter muda itu terdiam.
“Apa yang terjadi padanya, bilang saja!” buru Bimo sambil bangkit dan mengguncang-guncang tangan Suebu.
“Peluru itu menyangkut di tengkorak kepalanya, dekat otaknya…”
“Kami sudah berusaha mengambilnya, tapi….”
“Kita hanya bisa menyerahkannya pada Sang Pencipta, Pak Bimo.”
Kedua dokter muda itu bergantian menjelaskan. Bimo tertunduk kembali dengan tubuh gemetar. Ia tahu sejak awal dirinya takkan pernah mendapatkan kasih sayang kedua putrinya. Namun, dalam tahun-tahun terakhir ia telah berusaha untuk memperbaiki segalanya.
Diawali dari perbaikan diri, mencari pencerahan dan bekal spiritual ke mana pun kakinya melangkah. Bahkan untuk itu ia rela melepaskan bisnisnya, dan segalanya yang bersifat keduniawian.
“Boleh aku melihatnya, sekarang?”
“Silakan. Kami sudah menempatkan keduanya di satu ruangan, sesuai keinginan Siska. Tadi dia sempat sadar,” jelas Suebu.
Bimo menatap Suebu tak percaya. “Dia sungguh menginginkan begitu?”
Suebu mengangguk diiyakan pula oleh Haekal. Mereka dipersilakan masuk ke ruangan yang dimaksud. Mardo, Henry dan Danang memilih menunggu di luar. Membiarkan Bimo dan Fathur melihat kedua pasien.
Bimo dan Fathur tertegun melihat pemandangan di depan mereka. Ranjang kedua gadis itu bersebelahan. Keduanya tampak baru saja melewati masa kritis.
Oh, tidak!
Siska takkan pernah melewatinya dengan sempurna!
Bimo menghampiri pembaringan Siska lebih dahulu. Beberapa jenak ia hanya memandanginya, kepalanya yang dibalut perban, wajahnya yang pucat, mendung yang sangat tebal menyelimutinya.
“Putriku sayang,” gumamnya lirih.
Manakala tak ada reaksi dari Siska, matanya pun beralih ke ranjang di sebelahnya. Kondisi gadis ini tampak masih jauh lebih baik, selain tangan kirinya yang dibalut sebatas siku. Wajahnya yang pucat menyiratkan kepasrahan total, ketawakalan dan keikhlasannya yang paripurna.
Bimo menyadari, anak gadisnya yang satu ini memang senantiasa hidup istiqomah. Jadi, apa pun yang akan menimpa dirinya ia akan selalu dalam ketawakalan dan tawadhu. Ia tak perlu mengkhawatirkannya.
“Papi,” Bimo tersentak menoleh kembali ke arah Siska.
Gadis itu telah membuka kelopak matanya. Bibirnya yang pucat mencoba menyungging seulas senyum kepada lelaki itu.
“Putriku, kamu sudah sadar, Nak?” tanyanya bergetar sambil terduduk di kursi yang disodorkan Fathur untuknya.
Merasa sudah lega melihat kondisi Syifa, diam-diam Fathur meninggalkan ruangan itu. Membiarkan ayah dan anak menyelesaikan apa yang ingin mereka tuntaskan.
Bimo merasakan telapak tangan dalam genggamannya dingin sekali. Air bening mengalir deras dari sudut-sudut mata lelaki itu. Membayangkan kembali adegan dramatis yang terjadi di depan pintu gerbang Az-Zahra.
Lelaki biadab itu mengarahkan pistolnya kepadanya, meledakkan butiran timahnya. Seketika muncul nayangan Siska yang melesat, menggantikannya dihajar timah panas!
“Mengapa, mengapa kamu lakukan itu, Nak?”
Siska menatapnya lekat-lekat. Inilah wajah seorang ayah yang dalam tahun-tahun terakhir, acapkali membuatnya nyaris menjadi gila. Segala keputusan dan tindakannya yang aneh, ia tahu, hanya terjadi sejak mengetahui keberadaan istri tua Papi dan putrinya.
“Papi, aku sayang Papi, sayang sekali,” lirih Siska nyaris tak terdengar.
“Iya, Nak, Papi tahu itu. Makanya kamu rela mengorbankan dirimu untuk menyelamatkan Papi. Maafkan Papi, ya Nak, maafkan…”
Tangan itu semakin dingin dan gemetar dalam genggaman Bimo.
”Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menebus segala dosaku…”
”Iya, Nak, kamu anak yang berbakti.”
”Oya! Apakah Papi bisa membekukan transfer ilegal itu?” tanyanya tersendat-sendat.
”Bisa, Nak, insya Allah, pengacara sudah melakukannya.”
Wajah cantik itu sekejap berseri, bibirnya tersenyum samar. “Syukurlah.”
“Sudahlah, Nak, jangan pikirkan apa-apa lagi.”
“Aku harus mengatakannya,” katanya tersendat-sendat. “Aku yang sudah menabrak istri tua Papi, ibu kandung Syifa.”
Air mata berlinangan dari sudut-sudut matanya. Air mata penyesalan yang tak teperi. Agaknya cahaya Ilahi telah membasuh kalbu gadis ini pada detik-detik terakhir hidupnya.
“Aku tahu itu, Nak,” bisik Bimo.
Sepasang mata berkabut itu kian mengabut. “Kenapa Papi tak melaporkanku?”
“Papi tak sanggup, Nak. Papi sempat mengakuinya sebagai perbuatan Papi. Tapi mereka tak punya bukti kuat. Papi dibebaskan dengan syarat akan membawamu ke hadapan hukum.”
“Papi tak melakukannya, mengapa?” gugat Siska.
“Karena Papi sayang, terlalu sayang kamu, Nak. Maafkan Papi, selama ini sudah keliru dalam mengasihi dirimu.”
Beberapa saat tak ada yang berkata-kata. Sampai kemudian seolah baru diingatkan, Bimo mencoba untuk mempengaruhi pikiran putri tercinta. Selama hidupnya telah menyerahkan pendidikan putrinya ini kepada ibunya. Perbedaan agama antara dirinya dengan istrinya, sungguh telah membuat jurang lebar semakin terbentang di antara mereka.
“Anakku, kamu percaya Allah, bukan?”
“Apakah Dia itu ada, Papi?” lirih Siska.
Bimo mengucap istighfar. Ini adalah tanggung jawab dirinya. Ya, sesungguhnya segala kekacauan ini bersumber pada dirinya.
“Allah Swt hanya Dia Yang Menciptakan kita, Nak, pecayalah. Dia selalu mendengar harapan dan doa kita.”
Seulas senyum tipis meleret di bibir gadis itu. “Kalau begitu, tolong, mintakan pengampunan-Nya atas segala dosa dan salahku, Papi. Tolong, Papi, ya, kumohon?”
Bimo menuntunnya untuk mengucapkan istighfar, tasbih, dan tahlil. Siska mematuhinya. Hingga suatu saat tak ada lagi yang mampu terucapkan dari bibir putrinya.
Perlahan Bimo menutup kedua mata itu meskipun pilu, tetapi hatinya terasa lapang. Setidaknya ia mengetahui putrinya pergi bersama cahaya Ilahi yang telah menuntunnya kembali.
Sesaat kemudian, mata lelaki paruh baya itu beralih kembali pada sosok Syifa yang terbaring di sebelahnya.
“Ayah,” ucap Syifa perlahan.
Gadis cantik yang telah kehilangan sebelah tangannya itu telah siuman, turut menyaksikan ayahnya mentalkinkan Siska. Dia tersenyum, matanya berkaca-kaca terharu.
“Syifa, anakku sayang!” buru Bimo sambil terisak.
Mereka pun bertangisan menumpahkan kerinduannya selama ini.
Di luar, bulan bertengger sempurna memancarkan cahayanya yang mewah. Ribuan cahaya berpendaran dari bulatannya. Laksana cahaya Ilahi. Cahaya-cahaya abadi. Di sanalah Kekuatan Maha itu berada.
@@@