Masih pagi sekali sudah memasuki kawasan perumahan real-estate Grand Depok City. Dari pintu gerbang, setelah turun dari angkot, kupanggil abang ojek agar mengantarku menuju kantor Pengadilan Agama.
Melintasi bangunan-bangunan megah dan pepohonan asri, tampak jalanan masih lengang. Sejuk dengan nuansa yang bersih, sejenak menghanyutkan sesak di dada, dan jantungku yang belakangan kerap mengganggu.
Setelah melewati beberapa gedung perkantoran, Dinas Kebakaran, Pencatatan Tanah, dan entah apalagi, akhirnya sampailah di antara gedung Imigrasi dengan Pengadilan Agama.
“Kurang, Bu, masa segini?” cetus abang ojek ketika kuulurkan selembar sepuluh ribuan. Kutatap sekilas lelaki paro baya itu, mungkin pensiunan atau memang sudah profesinya pengojek seumur hidup.
“Biasanya juga segitu, Bang. Ini bukan pertama kalinya ke sini,” kataku sambil mencari tambahan recehan di tas.
Seketika ia menggerutu dengan mimik tak suka, melirikku sekilas dalam tatapan terkesan melecehkan.”Tapi saya baliknya kosong, Bu, masa tega?” bantahnya terdengar ketus di kupingku.
Sesaat aku terdiam membisu. Tatapan yang terkesan melecehkan itu membuat jantungku seketika berdenyar kacau. Tatapan yang tak jauh beda dengan mata seseorang, ketika menyuruhku pergi dari rumah, disebabkan nafsu syahwatnya yang sudah tak terbendung lagi.
Takkan pernah kulupakan kalimatnya yang membuatku memutuskan meninggalkan rumah, malam itu juga: “Aku mau bawa istriku ke sini untuk mengurus kamu. Tapi kalau kamu tak setuju, ya, sudah; pergi saja dari rumah ini,” katanya tegas, tanpa perasaan sama sekali.
Wajahnya yang persegi khas milik lelaki seberang itu tampak tanpa ekspresi. Membeku, sebagaimana dulu, ketika dia sangat hobi menganiayaku dan anak-anak semasa mereka kecil.
Mengurusku, katanya? Dalih macam apa yang muncul di otak kacaunya itu? Bagaimana mau mengurus diriku, kalau sejak pernikahan diriku dibiarkan berjuang mencari nafkah sendiri? Bahkan jika sakit pun aku lebih banyak mengandalkan keluargaku, dan kedua anakku daripada suami yang tak pernah peduli, hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri.
“Ini!” kusodorkan selembar lagi sepuluh ribuan, kutahan sedemikian rupa masygul dan jengkel yang meruyak dalam dada.
“Gak ada kembaliannya!” Nah, terdengar semakin ketus saja di kupingku yang jelas belum tuli!
“Ya, sudah, aku ikhlaskan buat kamu!” Suaraku terdengar meninggi bahkan di kupingku sendiri. Gegas kutinggalkan si tatapan melecehkan yang mengingatkanku akan kenangan buruk itu. Ada sesal, mengapa harus memilih ojek dan bukan taksi saja yang jelas tarif dan kenyamanannya.
Masih sepi, tak ada sepotong pun manusia di ruangan pendaftaran itu. Tapi ada beberapa lembar kertas, kuamati ternyata lembar daftar hadir. Kuisikan nama dan nomer perkaraku di urutan pertama; 1625.
Duduk di depan ruang sidang dua, beberapa jenak aku tak tahu harus berbuat apa. Seharusnya bawa laptop biar bisa melanjutkan garapan novel. Namun, kutahu segala pikiran dan enerjiku dalam lima bulan terakhir telah terkuras demi meredam nestapa hatiku, kali ini.
Ah, seketika melembayang lagi di tampuk mataku sosok itu, bapak kedua anakku yang mengharuskanku sekarang berada di tempat yang mengurus segala macam gugat-menggugat, sengketa berujung pada satu ketukan palu Hakim.
Tigapuluhdua tahun, sungguh bukan waktu yang singkat untuk mengukir sejarah manusia. Berbagai persitiwa, kekerasan dalam rumah tanggaku, jatuh bangun ketegaranku sebagai seorang istri, semua telah menjadi warna buram yang bisa kutuliskan dengan tinta semesta cinta yang kumiliki.
“Aku tidak bisa begini terus. Kamu semakin sering sakit dan menolak hasrat seksualku. Kamu harus membiarkanku menikah lagi,” cetusmu entah untuk kali ke berapa.”Lagipula, aku sudah tak ada rasa, apalagi cinta dan sayang kepadamu. Yang ada hanya rasa kasihan, sementara aku merasa terpenjara dalam kondisi yang menyesakkan begini,” lanjutnya menceracau bak rentetan peluru, sehingga seluruh benteng di hatiku luluh-lantak sudah.
“Iya, aku sudah paham dan telah kuizinkan kamu menikah lagi sejak belasan tahun yang lalu. Silakan saja. Aku hanya minta tidak perlu dibawa ke hadapanku, tidak perlu juga diumbar beritanya. Lakukanlah dengan hati nuranimu, itupun kalau kamu masih punya,” akhirnya mulutku yang beku mampu jua mengeluarkan sikap.
Memang kemudian kubiarkan dia bebas melakukan apapun, sementara kuabdikan terus seluruh hidupku untuk kesejahteraan rumah tangga. Meskipun aku sering bepergian ke luar daerah, ke mancanegara, segala keperluan untuk makan sehari-hari selalu kusiapkan, kutitipkan kepada anakku bungsu yang masih tinggal bersama kami.
Jadi, kutunggu saja bagaimana dia mewujudkan mimpinya yang disebutnya sebagai; cita-cita, obsesi untuk punya istri lagi. Hal ini malah selalu diwartakannya dalam status akun Facebook. Sementara setiap kali dia menginginkan melampiaskan hasratnya, aku telah punya dalih untuk menolaknya.
“Kita sudah memutuskan akan berpisah, jadi jangan lagi menuntut hal itu,” kataku semakin dingin.
Aku tak pernah memuntahkan kemarahanku atas penyakit kotor yang pernah ditularkannya kepada diriku, beberapa tahun yang silam. Cukup kupendam dalam-dalam di hatiku.
Telah dua anak keturunan kami dan keduanya telah mandiri. Sulungku, anak laki-laki seorang Master IT, manager sebuah perusahaan teknologi bonafide. Adiknya perempuan sarjana hukum, belum lama menikah, sebentar lagi menjadi seorang pengacara hebat. Aku yakin itu!
Mendadak adikku yang janda dan sering tinggal di rumah kami, melaporkan pelecehan yang telah dilakukan abang ipar terhadap dirinya. “Dia nyaris saja memperkosaku, Teteh. Bahkan kemarin dia meremas tangan dan bokong anakku. Dia kan masih ABG, sampai nangis-nangis dan trauma tidak mau datang ke sini lagi,” lapornya sambil menahan kemarahannya.
Cukup sudah, jeritku mengawang langit. Aku masih bisa bertahan puluhan tahun, meskipun sering dianiaya, sering dikhianati dan punya kekasih gelap sejak tahun pertama pernikahan kami. Aku pun masih bisa memaafkannya, saat dia tak pernah memedulikanku jika aku sakit parah di rumah sakit. Bahkan aku masih bisa menerima dan bersabar, meskipun telah ditulari penyakit kotornya!
Tapi saat kudengar adik kesayangan dilecehkan seperti itu, bahkan putrinya yang masih belasan tahun dilecehkannya juga, innalilahi. Demi Allah, aku takkan pernah bisa mengampuninya!
“Teteh, maafkan telat, ya,” kata seorang perempuan 40-an, menghampiriku dan memelukku, menambahkan dengan kata-kata penyemangat.
“Tidak apa-apa, masih banyak waktu,” sambutku senang dan lega. Setelah dua kali berhalangan menjadi saksiku, akhirnya dia bisa juga datang menepati janjinya.
Kupandangi adik keenam yang kini menjadi karyawati di perusahaan sahabatku itu. Wajahnya tampak ceria, kupahami itu, dia telah menemukan calon pendamping dan ayah pengganti untuk kedua anaknya. Kudoakan sebentar lagi mereka menikah.
Setelah jam menunjukkan ke angka sembilan tepat, akhirnya nama dan perkaraku dipanggil sesuai urutan pertama. Kugandeng adikku Ros ke ruang sidang, kubisikkan kepadanya:”Katakanlah sejujurnya tentang kesaksianmu, ya Dik.” Dia mengangguk sebelum kemudian duduk di bangku deretan belakang.
Hakim Ketua, seorang perempuan sebayaku, membuka sidang dengan membacakan ulang perkaraku diakhiri rangkaian pertanyaan yang sama, persis seperti pada siang pertama dan kedua sebelumnya.
”Bagaimana mau lanjut saja, Bu? Atau mau menarik perkaranya?”
“Lanjutkan sajalah, Bu Hakim,” tukasku.
“Ibu kan sudah tua, sudah sama-sama sepuh. Katanya kemarin sudah punya dua cucu, ya kan? Apa tidak sayang dengan suami?”
“Bukan itu masalahnya….”
“Dia pegawai negeri, meskipun sudah pensiunan. Kalau cerai, nanti Ibu tidak akan mendapatkan pensiunannya?”
Masya Allah, jangankan mengharapkan tunjangan pensiunannya. Seumur hidup aku tak pernah tahu berapa gajinya!
Aku berdiri minta maaf dan menyerahkan selembar surat pernyataan yang ditanda tangani lelaki itu. Kata putriku, si bungsu, bapaknya tampak begitu sukacita dan bahagia saat menandatanganinya.
Hakim Ketua terdiam, beberapa jenak mencermati surat pernyataan resmi tersebut. Selang kemudian menyerahkannya kepada Wakil Hakim. Lelaki berkacamata itu kemudian meminta adikku memberi kesaksian dengan disumpah lebih dahulu.
Seperti yang pernah dilaporkannya kepadaku, adikku menyampaikan kesaksiannya:”Dulu sering melihat kakak saya dan anak-anaknya dianiaya. Dia tidak pernah memberi nafkah dan sering selingkuh. Beberapa bulan yang lalu, dia melecehkan saya dan putri saya,” ceracaunya mantap dan meyakinkan sekali.
“Baiklah, karena Ibu yang menggugat cerai, maka sesuai peraturan; Ibu harus mengembalikan mahar, disebut juga iwadl sebesar 10 ribu rupiah yang akan disumbangkan ke Baitul Mal.”
“Bayar sekarang, ya Bu Hakim?” tanyaku agak kebingungan, tak mengira akan ditodong pembayaran lain di luar biaya gugat cerai yang 751 ribu rupiah itu.
“Ya, sekarang juga.”
Aku buru-buru mencari sepuluh ribuan, ternyata masih ada selembar, sisa bayar ojek. Kuserahkan segera dan kuterima kuitansi yang sudah disiapkan.
“Hari ini, bla, bla….. Jatuh talak satu dari Siregar kepada Hadiwati, tok,tok, took!” Demikian kira-kira keputusan akhir Hakim Ketua.
Keluar dari ruang sidang, adikku menggandeng tanganku dan berbisik:”Itu bayar mahar apaan, ya Teteh? Seingatku, dulu maharnya kan diutang? Memang sudah dibayarkan?”
Degh! Jantungku serasa lepas, kepalaku pun berdenyar-denyar. Adikku masih mengingatnya ternyata. Dia, lelaki dari seberang itu, 32 tahun yang silam memang mengucap ijab kabulnya: ”Terima nikahnya dengan Etty Hadiwati binti Sukro Muhammad Arief dengan emas kawin diutang!” (Jakarta, 30 Oktober 2012)
@@@