Medio, 1979
Adikku En menikah dengan direktur perusahaan tempatnya bekerja selama itu. Umur suaminya lebih tua daripada Bapak. Akhirnya adikku En menjadi istri muda. Persis seperti yang pernah diangankannya saat kecil dan saat remaja. Kepingin punya suami seorang kaya raya, biar kakek-kakek sekalipun!
Parahnya adalah masalah akidah, karena suaminya pemeluk Protestan. Meskipun ketika menikah di KUA, tapi kami tahu selanjutnya; terserah mereka!
“Aku kan melakukan ini demi membantu keluarga kita. Coba, kalau aku gak nekad jadi istri? Mungkin kita sudah kehilangan rumah di Cimahi itu! Rumah itu kan sudah tergadaikan di Bank. Hampir dijabel karena gak sanggup bayar,” cetusnya suatu saat dengan nada berapi-api.
Mungkin ada benarnya meskipun harus diakuinya bahwa itu pun dilakukannya demi kesenangannya sendiri. Beberapa waktu setelah dia menikah kami pernah curah hati. Saat itulah, pertama kalinya aku merasa melihat dia sebagai orang asing. Dia telah berubah 180 derajat!
Pandangannya yang serba materialis, praktis dan modern. Keyakinanannya pun telah bertukar. Aku tak berhasil mengubah prinsip hidupnya kini. Kutinggalkan rumah kontrakannya di Rawamangun, tempat ayah kami tinggal untuk beberapa kurun waktu.
Duhai, hatiku sangat miris dan pedih!
Aku merasa kehilangan seorang adik yang paling dekat. Seseorang yang selama itu tempat curah hati, diskusi berlarat-larat soal situasi ekonomi keluarga, harapan dan cita-cita.
Ya, dia telah hilang. Dia telah tercerabut dari akarnya, terutama dari keislamannya. Betapa ingin aku menariknya kembali, memagarinya agar jangan sampai bablas… aaarrrrggh!
Namun, apalah dayaku? Mak dan Bapak saja tak bisa menghalangi langkahnya yang sudah terlalu jauh itu. Untuk beberapa bulan kemudian, aku melihat perubahan besar-besaran sedang terjadi dalam keluarga kami. Semua adik mengagung-agungkannya, termasuk Mak dan Bapak. Kekuasaan agaknya telah bergeser dari tangan Bapak dan aku kepada adikku En. Yap, En sedang di atas angin!
Sejak saat itu, aku sering merasa sangat terpinggirkan. Rasanya tak ada lagi yang memperhatikan aku. Apalagi bergantung seperti saat sebelumnya. Karena sekarang segalanya sudah bisa ditanggulangi oleh En bersama suaminya.
Baiklah, aku bergulat seorang diri. Bersama rasa sepi, kesendirian, kesakitan dan nyaris putus asa.
Duh, Gusti Allah, jangan pernah tinggalkan aku!
Memoar pertamaku diberi judul Sepotong Hati di Sudut Kamar. Isinya tak ubahnya seperti catatan harian anak baru gede saja. Maklum, aku menulisnya sejak berusia 17 tahun. Kebanyakan aku kutip dari catatan harian saat aku berada di rumah sakit. Empat tahun kemudian aku menjual hak terbitnya kepada PT Sinar Kasih. Terus terang saja karena terdorong oleh kebutuhan. Yah, buat apalagi kalau bukan untuk biaya pengobatanku. Ini ada kisahnya pula.
Suatu saat aku berada di sebuah pesantren di kawasan Banten. Aku dalam suasana hati yang sangat damai. Beberapa bulan sebelumnya, dokter menyatakan kemungkinan sekali harapan hidupku tipis. Penyakit abadiku secara perlahan menggerogoti tubuhku. Transfusi darah yang aku harus jalani secara berkala, ternyata menimbulkan dampak negatif. Aku pun terkena hepatitis, limpaku membengkak, asma bronchiale dan jantung bermasalah.
Selama dua puluh satu hari aku sempat berada di ruangan isolasi. Antara sadar dengan tidak sadar. Hanya kuasa Allah jualah yang telah menarik “pulang” roh si sulung ini ke pangkuan keluarganya, sehingga aku dapat keluar dari situasi in-coma.
Saat aku merasa mulai membaik, aku memutuskan untuk tinggal di pesantren, milik guru ayahku di Rangkasbitung, Banten. Di rumah sederhana di perkampungan para santri dan santriwati itulah, aku pun menemukan rasa damai dan tenteram yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Sambil mempelajari keislaman secara “baik dan benar”, aku pun lebih giat lagi beribadah, menikmati siraman-siraman rohani dari Nyai Ustazah dan Pak Kyai Ashari. Aku merasa telah menemukan “sesuatu” itu. Berkah dan hidayah-Nya. Alangkah nikmatnya. Subhanallah!
Aku sampai berpikir, tak ada lagi yang aku inginkan selain rasa damai ini selamanya. Aku sangat menyukai menetap di tempat ini. Tak ingin pergi ke mana-mana lagi untuk selamanya. Jiwaku dan imanku seolah sudah terpaku erat di tempat ini.
Upsss, kenyataan berbicara lain. Kita yang berencana, tetapi Sang Pencipta yang menggariskan takdir kita. Kehidupan terus berlanjut, life must go on!
Agaknya Allah Swt mengabulkan doa panjang kedua orangtua dan enam saudaraku. Aku pun kiranya harus kembali ke tengah-tengah keluarga di Cimahi. Kepada mereka yang menyayangiku yang telah aku tinggalkan selama beberapa bulan itu.
Petang itu hari minggu akhir tahun 1979, Mak datang berkunjung. Sudah sebulan Mak tidak menengok. Karena sibuk dengan adik-adikku yang masih urusaneun alias butuh perhatian penuh untuk diurus.
Sekali ini Mak bukan sekedar berkunjung seperti biasanya. Aku bisa menangkap kegalauan di matanya yang lembut dan selalu bening. Di wajahnya yang terang dan lugu. Sehingga Mak tak pernah mampu menyembunyikan sesuatu rahasia apa pun dariku. Wajahnya bak cermin yang menampilkan apa adanya.
“Ada apa, Mak?”
“Ah, Mak gak ada apa-apa, Nak,” elaknya.
“Sudahlah, terus terang sajalah, Mak,” desakku.
Aku menyentuh kedua tangannya, menggenggam jari-jarinya yang kasar karena sering bekerja keras. Inilah jari-jari dan telapak tangan yang selalu menadah ke hadirat Ilahi Rabbi, demi mendoakan kesembuhanku, demikian aku berpikir dengan hati galau. Harapan dan doanya itu telah terkabulkan. Nyatanya aku merasa segar dan bugar. Sehat wal afiat, alhamdulillah…
“Teteh, sebenarnya kita ini banyak utang,” kesahnya nyaris tak terdengar.
Semua masalah, semua beban yang selama itu telah menggayuti hatinya, akhirnya tumpah ruah jua. Ada tetes-tetes bening yang menuruni wajahnya yang bersahaja.
“Iya, Teteh ngeri, sudahlah mak, tenangkan hati Mak, ya,” aku membujuk dan menenangkannya.
Dia mengais matanya yang baru aku sadari tampak sembab. Tentu akibat kurang tidur. Ya, bisa dimaklumi. Bagaimana kita bisa hidup tenang kalau dikejar-kejar rentenir? Utang itu memang nyaris melilit leher!
“Semuanya bekas biaya pengobatanmu tempo hari. Gaji Bapak kan tak seberapa, Teteh.”
Terasa bagai ada yang menikam ulu hatiku.
Tertunduk aku menahan rasa yang mengharu biru. Tak berani menatap wajahnya lagi. Walau aku percaya, bukan maksudnya untuk membebani hatiku.
“Bapak tahu?”
“Ya….”
“Bagaimana dengan En dan suaminya? Apa mereka tak bisa bantu?”
“Sudah terlalu banyak kita dibantu adikmu itu. Lagian dia sibuk berobat, kepingin punya anak.”
Aku merunduk menatap lantai tempat biasa aku bersimpuh dan mengetik malam-malam.
“Rasanya Mak kepingin mati saja kalau terus-terusan diteror rentenir begini!” cetus Mak mengejutkan.
“Astaghfirullah hal adziiim!” aku mengusap wajah dan beristigfar berulang-ulang.
Air mata Mak semakin menganak sungai. Bingung, malu, takut dan sejuta rasa yang mencekam kalbunya. Hancur hatiku melihatnya. Itulah untuk pertama kalinya aku melihat perempuan yang selalu tabah, tampak sangat mengenaskan, setelah dulu menjadi pasien bangsal 13.
“Insya Allah, Mak… Teteh mau bantu!”
Mak menyusut air matanya dengan jari-jarinya yang tampak gemetar. Dipandanginya sesaat wajahku. Mungkin dalam pikirannya, apa yang bisa di lakukan si Teteh? Punya keajaiban apalagi? Setahun sebelumnya pernah mendapatkan honorarium seratus ribu dari novel perdananya, dan dua ratus lima puluh ribu dari Kartini Group.
“Apa yang akan kamu lakukan, Teteh?” tanyanya penasaran.
Entah dari mana datangnya gagasan sinting itu saat bibirku berucap; “Nanti aku akan menjual naskah ke penerbit.”
Malam itu Mak menginap di kobong atau kamar santri bersamaku. Sementara aku segera sibuk merapikan bundelan naskah yang selalu aku simpan di antara tumpukan pakaian di tas. Bundelan naskah itu berupa catatan harian yang belum sempat dimasukkan ke buku harian.
Aku kemudian mengetiknya. Sepanjang malam itu, diselang shalat tahajud, aku terus mengetik, mengetik, dan mengetik nyarus tanpa henti. Ada beberapa kali Mak terbangun, mengingatkan aku agar istirahat. Namun, kemudian Mak ikut bergabung bersamaku.
Menjelang dinihari kami pun shalat tahajud bersama. Memohon langsung kepada Sang Pemurah, agar kami diberi jalan keluar dan kemudahan untuk mendapatkan rezeki yang halal. Aku mengaminkan setiap doa yang diserukan ibuku pada dinihari yang hening kali ini.
Oya, saat itu bulan Ramadhan. Jadi berbagai kegiatan rohani di kawasan pesantren sedang berlangsung. Kalau tak salah itu minggu pertama. Setelah makan sahur biasanya kami melanjutkannya untuk tadarusan. Sekali itu aku tak dapat mengikutinya. Setelah shalat subuh berjamaah bersama keluarga Kyai Ashari, aku pamitan ke Jakarta.
Mak mengantarku sampai stasiun Rangkasbitung. Tak henti-hentinya Mak mengingatkan aku. Agar jangan terlalu menguras energi.
“Kalau tak dapat uang, sudahlah, pokoknya jangan bikin kamu sakit,” katanya.
Aku naik kereta langsam dari stasiun Rangkasbitung menuju Kota. Meskipun kereta pertama tetaplah penuh sesak. Para penumpang dicampur dengan bakul ikan pindang. Kaleng kerupuk, duren dan pete. Baunya itu lho, waduuuh, luar biasa, puuuu-siiiing!
Aku berzikir sepanjang jalan. Walau hati tetap kebat-kebit. Bagaimana caranya menjajakan naskah yang belum jadi ini? Ya, tentu saja belum jadi. Lha wong baru ditik tadi malam. Hasil begadang sepanjang malam itu berupa tematik dan prolog. Sembilan halaman kertas ukuran folio. Tak kurang tak lebih!
Setibanya di stasiun Kota, aku masih deg-deg-plas. Ke mana sebaiknya bakal buku ini dijajakan? Namun, aku tetap punya keyakinan akan kemurahan-Nya. Di sini aku menyempatkan dulu shalat dhuha dua rakaat. Agak lama aku tepekur dan berdoa panjang. Saat keluar dari mushola, ide itu muncul begitu saja. Aku teringat seorang rekan sesama pengarang, lebih senior daripada aku. Kami suka berkorespondensi.
Dia pernah bilang, di tempatnya bekerja sedang dibuka produk penerbitan buku. Macam-macam buku, ilmiah, fiksi, sastra dan sebagainya. Bebekal keyakinan akan kemurahan Allah Swt, ditambah mental badak barangkali. Akhirnya ke sanalah langkahku diayunkan.
Ternyata rekan yang kumaksud itu sudah tak bekerja di Sinar Harapan. Ya Allah, lantas mesti bertemu dengan siapa di tempat asing begini? Selagi aku berpikir-pikir di ruang tunggu itulah, tiba-tiba ada yang menghampiri. Dia seorang wartawati senior, menyapa aku dengan sikapnya yang santun dan penuh atensi. Berkat sang wartawati inilah akhirnya aku bisa dipertemukan dengan Aristides Katoppo, manager penerbitan.
Aku masih ingat sekali. Di ruangan full AC di lantai lima, Aristides sedang ada pertemuan dengan para pengarang senior; Leon Agusta, Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Jatman. Agaknya mereka sedang membicarakan penerbitan buku.
“Hai… apa kabarmu Pipiet Senja? Mana Pipiet Malam-nya?” tanya Bang Tardji bercanda. Syukurlah, dia masih mengingat diriku.
“Ehh… tak dibawalah tuh, Bang, repot!” sahutku mencoba meningkahi gurauannya.
Langsung saja aku serahkan sembilan halaman berklip dalam map kepada Aristides. Untuk beberapa saat aku mencoba mempresentasikan buku yang bakal kugarap. Aku sungguh mencoba mengetuk hati mereka, walaupun dengan menahan rasa malu tak terhingga. Aku paparkan juga sekilas tentang kesulitanku, terutama tentang utang bekas biaya pengobatanku.
“Waaah, baru kubaca sekilas pun, aku sudah terkesan sekali. Ini sangat menarik. Baiklah, aku akan membantu Anda,” sambut Aristides Katoppo. “Kira-kira berapa yang Anda butuhkan saat ini?”
“Dua ratus lima puluh ribu,” sahutku teringat lagi utang Mak.
“Oke, tak masalah. Kami berikan uang itu hari ini juga. Sisanya setelah selesai bukunya. Bagaimana?”
Aku hanya bisa mengangguk, takjub. Semudah inikah? Apa aku lagi mimpi, ya? Kucubit perlahan tanganku, aduh; saaakiiit!
Ini memang nyata, pekikku dalam hati. “Mak, kita berhasil, Mak! Doa Mak memang makbul!” jeritku pula riuh di dalam hati.
Dengan berbekal secarik rekomendasi dari Pak Aristides Katoppo, aku mencairkannya di bagian keuangan, langsung menandatangani kontrak. Serasa mimpi saja, saat Mas Bondan menjelaskan jumlah honorarium yang berhak aku terima; satu juta rupiah!
Giliran ditanya oleh Mas Oyik, Satyagraha Hurip; “Mbak Pipiet, kapan kira-kira selesai bukunya?”
Aku nekad menyanggupinya dalam tempo sebulan. Belakangan aku sungguh menyesali kenekadanku ini. Soalnya, menulis dengan cara dikejar-kejar waktu begitu, wuuuiiih; puyeeeng, Mak!
Saat keluar melalui lift dengan 250 ribu di tas, tak bisa aku lukiskan bagaimana mengharu birunya hati ini. Aku berlari mencari suatu sudut agar bisa bersujud syukur.
“Alhamdulillah, ya Robb… Engkau sungguh sayang kepada hamba-Mu yang lemah ini. Terima kasih, Tuhan, Tuhan, Tuhanku… Allahu Akbaaar!” jeritku berulang-ulang dalam hati.
Tak peduli orang lalu-lalang, menatapku terheran-heran. Maklum, ini penerbitan nonmuslim.
Sungguh, tak henti-hentinya aku mengucapkan rasa terima kasih kepada Sang Maha Pemurah. Air mata menitik membasahi pipiku yang pucat. Inilah honorarium terbesar ketiga yang pernah aku terima di usiaku yang masih 22 tahun. Masih sangat muda untuk menghasilkan uang satu juta rupiah.
Bila dibandingkan dengan penghasilan pegawai atau karyawan biasa kala itu. Kalau tak salah gaji Bapak sebagai seorang perwira menengah sekitar 100 ribuan. bisa dibayangkan bagaimana gemparnya adik-adikku saat mengetahui hal ini, halah, heeeboooh!
Aku kembali ke stasiun Kota. Shalat zuhur di mushola. Keluar dari mushola barulah terasa perut keroncongan. Sahurnya hanya dengan semangkok mie instan dan sebutir telur.
Duh, Gusti, jeritku dalam hati. Terasa lemas sekali dibarengi keringat bercucuran, membasahi ke sekujur tubuh yang terbalut kemeja gombrang dan celana jeans belel.
Sekarang sudah lewat pukul dua. Kereta langsam yang menuju Rangkasbitung akan berangkat. Sesaat hati sempat sabil. Apakah harus membatalkan puasa karena rasa lelah dan lemas yang nyaris tak tertahankan ini? Aku lantas berpikir, apakah itu karena memiliki uang di tas, masih ada lagi tiga perempatnya, sehingga seluruh energi habis terkuras? Lantas ingin membatalkan puasa? Lantas makan dan minum di tengah hari bolong?
Astaghfirullah, mohon berilah kekuatan-Mu, Ya Rabbi!
Bagaimana perjalanan pulang ke Rangkasbitung? Yang aku ingat, hujan lebat, petir saling menyambar di atas kereta yang bergerak bagaikan siput. Sempat mogok tepat di atas jembatan yang tinggi kecuramannya luar biasa di mataku. Saat aku melongok keluar jendela yang tiris oleh curah hujan. Masya Allah!
Tangan-tangan malaikat Izrail seakan siap mencabut nyawa para penumpang kereta langsam petang itu.
Seketika terdengar; “Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
Suara azan maghrib sayup-sayup dari surau di pingir rel kereta. Bersama para penumpang muslim lainnya, aku pun berbuka dengan penganan yang dibeli dari penjaja kue baskom.
“Alhamdulillah, nikmat-Mu ini, Ya Rabbi! Terima kasih, Tuhanku, Engkau telah memberi kesempatan lagi kepada hamba-mu ini, untuk mampu berpuasa sehari lagi,” gumamku dengan dada dipenuhi rasa syukur tiada teperi.
Aku tiba di kobongku kembali sekitar pukul sebelas malam. Saat para santri dan santriwati telah lama pulang tarawih, saat terdengar orang tadarusan. Aku ketuk pintu rumah Nyai Ustazah. Tampak seraut wajah yang tengah gundah-gulana menanti kepulangan putrinya. Mak menangisi keadaanku yang basah kuyup dan berantakan tak karuan.
“Mungkin darahmu sudah rendah lagi,” ujar Mak keesokan harinya saat menemukan aku demam.
Hari itu aku terpaksa memohon izin-Nya. Tak mampu menjalankan puasa karena harus minum obat. Demam, meriang dan sakit sekujur tubuh, tulang-tulang serasa berlepasan semuanya. Tapi dadaku merasa lega, lapang sekali melihat wajah ibuku yang tak lagi mendung.
“Alhamdulillah, nuhun pisan, Teteh. Meuni asa dijait tina lobang nahaon mah,” lirih Mak saat menerima seluruh uang muka buku memoarku yang pertama itu.
Terima kasih, bagaikan diambil dari lobang apaan, katanya sambil bercucuran airmata.
Aku masih tinggal beberapa minggu lagi di kobong Nyai Ustazah, hingga usai proses pengetikan Sepotong Hati di Sudut Kamar. Begitu aku selesai mengerjakannya, beberapa hari kemudian, setelah lebaran, aku diangkut ke rumah sakit lagi.
“Ini dari mana saja pasien kita? Kenapa dibiarkan HB-nya tinggal 4 % gram?” gugat dokter Jo.
Aku terdiam tak mau menjawab. Percuma, toh dijawab atau tidak dijawab pun hasilnya akan sama; harus ngedrakuli alias ditransfusi darah. Sisa honorariumnya aku gunakan untuk membangun sebuah paviliun, di atas lahan kosong di depan rumah orang tua. Tempatku berkarya dan bergulat mempertahankan sepotong nyawa ini.
Penghujung tahun 1979, ada even besar sastrawan Nusantara di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kalau orang-orang datang dengan undangan, aku hanya berbekal nekad. Aku bukan orang ngetop, bukan sastrawan, tidak pula terikat instansi swasta atau pemerintah. Pokoknya nekad!
“Hm, inilah TIM, tempat para seniman Ibukota kongkow-kongkow,” gumamku ketika berdiri di depan pintu gerbang TIM siang itu.
Itulah pertama kalinya aku akan menjejakan kaki di TIM, markasnya para seniman. Seorang Satpam berkumis baplang mencegat langkahku di depan pos keamanan.
“Mbak mau ke mana? Mau bertemu siapa?” tanyanya memandang curiga. Hmm, tongkronganku sungguh tidak meyakinkan ‘kali, ya?
“Eh, ya, mau masuk ke dalam. Mau lihat-lahat saja, boleh kan?”
Satpam lainnya ikut nimbrung. Hih, interogasi nih?
“Lihat KTP-nya, Mbak….”
Wuaduh, matilah daku!
Ini dia masalahku, KTP-ku sudah kadaluarsa. Jujur saja, aku paling alergi kalau sudah berurusan dengan birokrasi. Biasanya aku minta tolong pamanku di bale Desa untuk mengurusnya. Tapi belakangan itu aku sendiri jarang di Cimahi.
Saat aku celingukan dan rikuh begitu, tiba-tiba serombongan mahasiswa IKJ menyelusup sambil rame ngobrol. Salah seorang di antaranya seketika merandek dan memperhatikan aku.
“Hei, Anda ini… ehem! Kalau gak salah Pipiet Senja, ya kan? Dari Cimahi itu, kan?” anak muda itu, sebayaku, menyapa dengan ramah.
“Kok tahu?”
“Aku lihat potret Anda dan wawancaranya di majalah Zaman. Anda pemenang lomba cerpen Zaman…”
“Begitu, ya? Kok aku malah gak tahu, ya?”
Hihi… kampungan nian daku!
Berkat anak-anak IKJ itulah akhirnya aku bisa menyelinap ke TIM. Kemudian bergabung dengan para seniman, mengikuti beberapa acaranya, mendapatkan makalah-makalahnya. Sampai mendapatkan makan gratis segala.
Saat inilah aku bisa bertatap muka langsung dengan Sutan Takdir Alisyahbana, Subagio Sastrowardojo, Ajip Rosidi, Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ismail, Titis Basino, TH. Prihatmi, Astrid Sutanto, Rayani Sriwidodo, banyak lagi para sastrawan senior yang karya-karyanya sejak lama sudah aku kenal.
Saat ini pula aku berkenalan dengan para penyair muda Jakarta.