Minggat ke Cimahi
Pipiet Senja
Akhir tahun 1974, aku baru mengetahui kalau Mak (lagi!) mengeluarkan aku dari sekolah. Tanpa pemberitahuan seperti sebelumnya. Rasa kecewa, marah, sedih, dan perasaan tak berguna campur aduk menyergapku.
Meskipun Bapak tetap memperlakukan aku dengan baik, tetap memberi uang saku setiap bulannya, seperti kepada adik-adik yang bersekolah. Namun, tetap saja gundah di hati tak bisa terpupuskan begitu saja.
“He, kamu mau pergi ke mana sore-sore begini?” tanya En ketika memergokiku yang sedang mengemasi baju sekadarnya ke dalam ransel kecil.
“Teteh mau pergi ke rumah Emih di Cimahi!” sahutku sambil menutup ransel dan siap kugendong.
“Jangan pergi, Teteh, jangan pergiii…” Ed dan Ry berusaha mencegahku. Kedua adik kecil, Sy dan My mulai menangis tanpa mengerti.
“Ingat, Teteh, Mak kita kan lagi diopname,” ujar Vy.
“Biar saja. Mak diopname kan sudah biasa. Sekarang alasanya suka dicari-cari. Cuma untuk menghindari kejaran para penagih utang!” cetusku penuh dengan kemarahan dan kekecewaan.
Untuk sesaat mereka terdiam. Wajah-wajah lugu itu tampaknya menyetujui ungkapan kekesalanku.
“Sudah, ya… Teteh sudah bikin surat. Berikan nanti sama Bapak. Doakan Teteh, ya?”
Mereka masih mengikuti aku sampai pintu depan.
“Dengar, ya! Kalau Teteh gak hijrah dari sini, kalian gak bakalan bisa melihat Teteh lama-lama lagi. Teteh bakal mati mengenaskan di depan mata kalian. Jadi, daripada kalian kehilangan Teteh selamanya. Hmmm, kan lebih baik Teteh pergi dari sini. Biar Teteh panjang umur. Kita bisa bersama-sama dalam waktu yang lama. Paham?” ungkapku panjang lebar.
Entah paham entah bingung, tetapi kemudian mereka tak bisa mencegah kepergianku lagi. Ry dan Ed berkeras mau mengantar aku sampai jalan Tegalan.
“Eee, memangnya Teteh punya ongkosnya?” cetus Ed.
“Kan dapat pinjam dari warung Abah…. Oya, ini sedikit dari Teteh buat jajan kalian. Doakan Teteh, ya. Assalamu’alaikum!”
Aku meloncat naik bis jurusan Cililitan. Dari kejauhan aku masih melihat keduanya melambai-lambaikan tangan. Tiba-tiba aku merasa amat sedih dan pilu.
Kenapa aku mesti minggat segala? Siapa nanti yang akan mengurus adik-adik di rumah? Aaah, telanjur sudah!
Akhirnya bus sampai di terminal Cililitan. Begitu aku turun langsung hujan. Ya, air hujan bagai dicurahkan dari langit.
“Sini Neng! Mau ke Bandung, kan?” seorang kernet menarik tanganku meloncati bus jurusan Bandung.
Huuuf, aku pun mengikutinya.
Untuk beberapa saat aku menangis di bangku paling depan. Hujan ini mirip kalbuku yang mendung dan basah, desahku. Jakarta, rasanya terlalu garang buat remaja lemah seperti aku. Jakarta, rasanya hanya menyisakan kesepian, ketakberdayaan, dan keputusasaan.
Aku harus hijrah agar bisa mengubah kerlip cahaya di kalbu ini menjadi nyala yang besar. Dahsyat!
Apakah itu? Aku pun tak paham. Yang aku tahu ketika itu, aku harus mengikuti desakan hati.
“Neng, mau turun di mana?” kernet menyapa saat menagih ongkos.
“Kalau sudah sampai di Cimahi, tolong nanti dikasih tahu, ya Mang?”
Sepintas aku melihat para penumpangnya kebanyakan kaum lelaki. Hanya dua orang perempuannya. Aku dan seorang ibu tua yang duduk tepat di belakang bangkuku.
Mang kernet dengan sopan memberi tahu bahwa kami telah sampai di Cimahi. “Hati-hati, ini sudah malam, ya, Neng …”
“Eh, iya, terima kasih, Mang…”
Sudah pukul sepuluh malam. Beberapa saat aku termangu di pinggir jalan raya Tagog. Di mana rumah Emih itu, ya, rasanya sudah lupa, pangling. Terakhir aku ke Cimahi sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Dalam tempo sepuluh tahun itu, jelas ada banyak perubahan yang terjadi di kawasan ini.
“Lahaulla wala quwwata ilabillahi aliyul adzim…”
Setelah menanyakan ke beberapa orang, akhirnya aku sampai dengan selamat di rumah Emih. Disambut isak tangis dan keheranan orang serumah.
Aku menghabiskan bulan Ramadhan tahun ini bersama Emih. Di rumah panggung sederhana dengan dua buah kamar tanpa pintu. Ada seorang adik Bapak yang sudah berkeluarga, tinggal juga di sini.
Sesungguhnya ada tiga keluarga dalam satu atap yang gentingnya banyak bocor itu.
Di sebelah depan sana ada keluarwa Uwak Titi, sepupu ayahku dengan seorang anaknya, si Gaga yang dulu sering mengusiliku.
Menjelang Lebaran, adik Bapak yang bungsu dan bekerja di Jakarta datang berkunjung.
Agaknya dia diutus Bapak untuk melunakkan hatiku supaya pulang ke Jakarta.
“Aku sudah betah di Cimahi, Mang. Sampaikan saja begitu,” tolakku halus.
Aku memang mulai kerasan dengan hawa Cimahi yang segar, jauh dari polusi. Akhirnya Bapak memutuskan untuk ikut boyongan ke Cimahi.
Awal tahun 1975, keluargaku pun resmi menjadi penduduk Cimahi. Adik-adik memasuki sekolah baru. En bisa melanjutkan sekolahnya ke SMA Pariwisata.
Sementara sepupuku El yang sudah lulus mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan elektronik. Mak tampak sehat dan sumringah dengan suasana baru. Bapak mengakui di kemudian hari, kami sebenarnya lebih pantas tinggal di daerah daripada di kota metropolitan. Jakarta terlalu mahal buat ukuran ekonomi pas-pasan macam kami.
Rumah di Jakarta akhirnya dijual. Hasil penjualannya dibelikan rumah milik Emih, kemudian merombaknya total. Meskipun sejak saat itu kami harus berjauhan dengan Bapak, kami harus menerima kenyataan ini.
Bapak menempati rumah kontrakan di Utan Kayu. Setiap hari Sabtu pulang ke Cimahi.
Kalau Bapak lagi banyak konsinyir atau tugas khusus, biasanya kamilah yang menyambanginya ke Jakarta.
Terutama Mak dan si kecil My. Namun, kami anak-anak yang sudah remaja lebih banyak tinggal di Cimahi. Sibuk dengan urusan masing-masing.
@@@