Leluhur yang Kukenang
Aki di mataku adalah seorang lelaki tua yang arif dan bijaksana. Aku jarang bicara kalau bukan untuk hal-hal yang di anggapnya penting. Aki lebih banyak berada di Masjid Agung. Di atas perantian shalatnya, bersama kitab kuningnya juga kelompok kajiannya. Aki cukup populer di kalangan para Ajengan atau Kiyai. Terbukti saat Aki meninggal, para Ajengan se-Sumedang bagai tumplek blek takziah ke rumah duka.
Seingatku Aki sering sakit-sakitan. Konon, Aki mengidap penyakit TBC kering. Tubuhnya kurus sekali dan agak bungkuk. Betis-betisnya diwarnai dengan eksim yang sudah kronis, sulit disembuhkan. Mungkin juga Aki mengidap penyakit kencing manis. Yang selalu aku ingat, Aki sering terdengar batuk hebat dan sesak napas. Apa karena tidak mau menulari cucunya, maka Aki bersikap agak menjauhi kami, entahkah.
Menurut cerita Mak, saat aku bayi Aki sering sekali mengayun-ayun kain ayunanku. Sambil mengayun-ayun itu, terkadang Aki tak dapat menahan batuknya yang hebat. Aku membayangkan, bagaiman Aki berusaha keras agar tidak batuk di dekatku. Padahal, Aki ingin tetap mengasuhku karena Mak mulai direpotkan lagi dengan kandungannya. Ya, saat aku berumur beberapa bulan, Mak sudah hamil kembali.
Samar-samar dalam kenangan, aku teringat suatu peristiwa menakutkan. Ketika itu gerombolan DI/TII digembongi Kartosuwiryo merajalela di kawasan Jawa Barat. Desa Cirangkong termasuk kawasan yang habis-habisan digempur oleh gerombolan. Mereka pun berani menjarah ke dalam kota, apabila dirasa tentara masih jauh.
Suatu malam terdengar suara tembakan gencar di sekitar rumahku. Kami semua berlindung di bawah kolong goah. Sementara Aki bersikukuh tak mau ikut.
“Biar, aku akan tunggu Koko di sini!” tegas Aki, maksudnya menantunya, ayahku.
Kemudian suasana mereda. Aki tampak menjamu para pengungsi dari desanya. Dari para pengungsi itulah, aku banyak mendengar cerita tragis. Kisah-kisah menyeramkan, mengerikan, dan memilukan. Tentang kebiadaban manusia yang notabene masih satu bangsa bahkan satu agama. Oh, ya Allah!
Siang harinya barulah Bapak kembali bersama rekan-rekannya. Menceritakan kejadian yang dialaminya semalam. Bapak terpisah dari pasukannya dan nyaris saja tertangkap. Mujurlah, Bapak dan salah seorang rekannya bersembunyi di sebuah kamar mandi umum. Keduanya sempat menguping percakapan para pengacau keamanan.
“Ternyata, salah seorang gerombolan itu adalah murid Aki!”
“Semoga Allah Swt memberinya hidayah,” doa Aku yang segera diaminkan oleh semua anggota keluarga.
Sejak Aki tiada, aku ingat betul, gaya hidup Eni berubah banyak. Eni sering mempergiat ibadahnya. Mengunjungi pengajian-pengajian. Bergaul lebih akrab dengan para ustadah, para istri Ajengan dan guru agama. Eni yang buta huruf, terlihat semangat sekali dalam hal memperbaiki kadar keislamannya. Eni sering meminta kami, para cucunya, untuk menuliskan ulang doa-doa yang diperolehnya dari pengajian. Mulanya aku tak mengerti, mengapa masih juga minta dituliskan. Padahal Eni tak bisa membacanya. Belakangan aku baru mengerti. Agaknya hal itu dimaksudkan Eni, agar bisa dibaca oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Ya, sebuah warisan yang harganya tak ternilai!
Kalau aku pikir, saat kecil tak ada orang yang sangat perhatian secara serius dan tulus terhadap kesehatanku selain Eni. Bukannya aku bermaksud mengabaikan perhatian yang diberikan kedua orangtua. Tak juga menyalahkan mereka. Aku mengerti, Mak dan Bapak punya kesibukan sendiri. Mak dan adik-adik yang kecil. Bapak dengan tugas keprajuritannya. Tapi kasih sayang nenekku terhadap diriku ini sungguh patut diacungi jempol.
Eni dikenal oleh masyarakat Regol sebagai Enggah Berhirder. Eni dikenal juga tukang membuat ragi ketan, bedak dingin dari tepung beras dan campuran yang entah apa namanya, noga atau penganan terbuat dari gula merah dan kacang tanah. Orang-orang sering sengaja memesannya kepada Eni. Hatta, karena rasanya lain dari yang lain.
Eni juga suka diminta bikin suguhan berupa sirih yang dilipat lengkap dengan bumbu kinangnya. Sirih ini biasanya dipakai orang untuk penambah suguhan malam Selasa dan Jumat Kliwon.
Aku dan El sepupuku yang diasuh ibuku sejak bayi merah itu, bertugas mengantar sirih kinang istimewa kepada orang-orang tertentu. Biasanya mereka akan membalasnya dengan kepingan uang logam alakadarnya. Eni akan memberikan sebagian kepingan uang logam itu buat kami berdua, sisanya dimasukkan ke kencleng Mesjid Agung.
Masih soal kebiasaan Eni mencarikan obat buatku. Setelah ditinggal Aki, Eni menjauhi segalanya yang berbau musyrik atau syirik. Apabila sebelumnya Eni minta obat untuk jampi-jampi kepada orang pintar atau dukun. Kini Eni beralih haluan dengan ngalap berkah para Ajengan dan Kyai. Biasanya yang diminta berkahnya adalah para sobat lama mendiang Aki.
Acapkali aku diajaknya ke pengajian-pengajian. Semakin jauh jarak tempat pengajiannya, menurut Eni, semakin tinggi nilai berkahnya. Apabila hari Jumat, pagi-pagi Eni akan menyuruhku mandi dan berpakain bersih. Kemudian saat orang pulang dari Masjid Agung seusai shalat Jumat, aku disuruhnya duduk di bangku kecil di depan rumah. Kalau Eni melihat Aki Ardi, adik iparnya, segera dilambai-lambaikan tangannya.
Aki Ardi pun dengan senang hati mengabulkan permintaannya. Mendoakan aku agar sembuh. Meniupkan doanya ke ubun-ubunku. Memberiku air putih segelas. Tentu saja airnya terlebih dahulu dibacakan doa-doa oleh Aki Ardi. Demikian berlanjut setiap hari Jumat, hingga Aki Ardi dipanggil oleh Sang pencipta.
Suatu kali aku diajak nenekku ke pengajian di Rancapurut, sebuah Kewedanaan di pesisian Sumedang. Kami menempuh perjalanan jauh. Sesampainya di tempat tujuan, beberapa ibu-ibu tani menghampiri kami. Bersilaturahmi, istilahnya dalam bahasa sunda pancakaki.
“Oh, ieu teh Enggah Behirder? Euleuh-euleuh meni kersa rurumpaheun ka dieu?”1
Ternyata nama Aki di kalangan kaum petani itu tak asing lagi. Mereka mengenal Aki sebagai seorang anak petani yang sukses. Karena berhasil menduduki jabatan ambtenaar pada zaman kolonial. Jabatan itu dipandang sebagai suatu kedudukan tinggi. Kenyataanya memang jarang sekali yang punya kesempatan seperti yang pernah diraih oleh kakekku.
Mereka mengaku pernah berutang budi kepada Aki. Ada yang pernah dipinjam modal, tanpa pernah diminta Aki untuk dikembalikan. Ada juga yang pernah dijampi Aki kemudian penyakitnya sembuh.
Hari itu kami berhasil ngalap berkah atau minta dodoakan para Ajengan terkenal di kawasan Sumedang. Saat itu sedang ada perayaan Maulidan. Para Ajengan dan Kyai berkumpul di masjid milik keluarga mantan Wedana Rancapurut itu.
Waktu itu aku baru berumur lima tahun, takkan pernah kulupa kenangan ajaib begini. Eni menyuruhku duduk di sebuah bangku dekat pintu keluar. Sementara nenekku berdiri tegar di belakang bangkuku.
Ketika para Ajengan, Kyai, dan ulama NU itu akan pulang, mereka harus melintasi tempatku. Saat itulah tangan para Kyai dan Ajengan dimohon keikhlasannya oleh nenekku. Agar mengusap permukaan perutku yang buncit.
“Mohon dengan segala rendah hatiku, ini cucuku mohon dijiad, yah… Ajengan,” demikian masih terngiang-ngiang suara nenekku yang sarat dengan kerendahan hatin, kesungguhan dan hasrat untuk membantu kesembuhan cucunya ini.
Tentu saja para Ajengan dengan ikhlas memberi doanya untukku. Meniupkan telapak tangan, menyentuh kepalaku, ada juga yang menempelkan telapak tangan di permukaan perutku. Sambil menyelipkan satu-dua lembar rupiah di tanganku, alamak!
Tak pelak lagi aku menjadi tontonan gratis para santri, ibu, dan kaum Muslimin.
Pulangnya kami menumpang sebuah truk yang mengangkut ayam dan sayuran. Selain mendapatkan berkah, kami pun dioleh-olehi macam-macam sayuran, ketimun, tomat, dan jeruk rancapurut yang terkenal itu plus uang di saku rokku. Biasanya pula, uang itu akan diserahkan nenekku kepada ibuku buat membeli obat atau makanan bergizi untukku.
Malam harinya kami ditanggap oleh seluruh penghuni rumah. Bila kebetulan Bapak sedang cuti dan bisa berkumpul, biasanya tak banyak komentar. Sepasang matanya yang tajam hanya akan memandangiku. Tak bisa ditebak!
Sambung