Ayahku bernama lengkap Sukro Muhammad Arief. Belakangan disingkat menjadi SM.Arief. Kerabat dekat dan saudara-saudaranya biasa memanggilnya Koko, anak sulung dari lima bersaudara.
Ayahnya bernama Muhammad Ari telah meninggalkannya saat remaja. Emih ibu kandungnya yang sangat cekatan dan mandiri. Keluarga Bapak bukan asli orang Cimahi. Konon, leluhurnya berasal dari Ciomas, Bogor. Menjelang hari-hari terakhir hidupnhya, Bapak pernah melacak jejak leluhurnya itu ke Ciomas. Namun, Bapak kembali dengan cerita bahwa dia hampir tak menemukan lagi sanak kerabatnya di sana.
Bapak lahir di Cimahi, 23 Januari 1930. Dia mendapat pendidikan di zaman Jepang. Sekolah formalnya setingkat SMP. Yaitu sekolah teknik di Surabaya, di selenggarakan oleh Angkatan Laut Jepang.
Bapak cukup fasih berbicara dalam bahasa Jepang. Saat meletus Perang Pasifik, Koko remaja sedang berada di tengah samudra diatas kapal perang Angkatan Laut Jepang. Bersama Koko ada para pemuda lain yang punya tujuan serupa.
“Kami terdampar di Banjarmasin. Tepatnya dibuang oleh tentara-tentara Jepang itu. Karena mereka segera disibukkan perang melawan Sekutu,” kisahnya dengan semangat penuh petualangan.
Koko remaja bersama seorang sepupunya, Benyamin. Beberapa waktu tak tahu tujuan. Tak tahu cara bagaimana untuk pulang ke kampung halaman.
“Hanya karena kemurahan Allah Swt, kami mendapat tumpangan sebuah kapal dagang. Berhari-hari dan berminggu-minggu, kami ikut dalam pelayaran yang sangat menyenangkan,” tutur ayahku bila sudah memapar kembali kisah heroiknya, romantika para pejuang ’45.
“Kami disambut dengan jerit tangis Emih dan sanak famili di Cimahi. Bayangkan, hampir lima bulan kami tak ada kabar berita!” tuturnya pula di depan anak-anak.
Usia lima belas tahun Koko bergabung dengan pasukan pejuang di Cimahi. Agar diterima oleh komandan pasukan, terpaksa mengaku berumur 17 tahun lewat. Walau kemudian diketahui juga hal yang sebenarnya. Namun, Koko remaja telah membuktikan kemampuannya sebagai seorang pejuang.
Sejak itu Koko mengabdikan hidupnya demi bangsa dan negara melalui TNI-AD. Tentang sebagian pengalaman dan perjuangannya semasa revolusi 1945, aku menuliskannya dalam buku bacaan anak-anak, Prahara Cimahi. Di masa mudanya saat masih revolusi, Bapak sempat menjadi seorang penulis lepas dan wartawan perang. Dia menulis untuk majalah Hubad dekade 50-an. Namun, kariernya sebagai prajurit kemudian menyita seluruh waktunya.
Hubunganku dengan Bapak di masa kanak-kanak tak begitu dekat. Bapak terlalu sering meninggalkan keluarga demi panggilan tugasnya. Aku bisa mengingatnya, saat Bapak kembali dari tugasnya di Malangbong, Garut. Dia membawa jeruk garut yang disimpan dalam ransel tentaranya. Juga beberapa pohon anggrek bulan.
“Jeruknya buat anak-anak. Anggrek bulannya buat kamu, Alit,” ujarnya kepada Mak.
Bapak memang suka memanggil Mak dengan sebutan Alit. Kalau Aki dan Eni suka memanggil Mak dengan sebutan Nok Alit.
“Itu Bapak pulang. Ayo, salami Bapak,” Mak mendorong-dorong aku untuk mendekatinya.
“He, kenapa bengong saja? Lupa barangkali sama Bapak, ya?”
Aku menghampirinya dengan takut-takut. Lihatlah! Penampilannya sepulang dari hutan Malangbong itu, aduuuh… menakutkan anak-anak!
Pakaian hijau kumal, sepatu kotor. Rambut gondrong dan dagunya menyemak dengan jenggot. Macam penampilan seorang perompak, bajak laut saja!
“Jangan takut. Aku ini Bapak, ayah kandungmu, Nak,” katanya berusaha hendak menggendong.
Kontan saja aku berlari ketakutan. Menjerit-jerit dan menangis… heee-boooh!
Beberapa hari Bapak bisa berkumpul dengan keluarga. Setelah berpenampilan apik dan bersih barulah aku mau mendekatinya, malah minta digendong. Biasanya Bapak akan memangku aku di atas bahu-bahunya yang kekar.
Sepasang tangannya yang kukuh sering digunakannya untuk mengayun-ayun kami. Aku, En, Vi, dan El. Bapak menyayangi kami tanpa pilih kasih.
Saat aku duduk di TK Persit Kartika Chandra, Bapak paling sering mengantarku. Bapak kala itu bertugas di Kodim Sumedang. Jadi punya cukup waktu untuk keluarga. Terutama kalau dia sedang cuti. Sementara Mak hampir tak bisa mengantarku ke sekolah. Sibuk dengan adik-adik kecil di rumah.
“Waaah, Pak Sersan lagi yang ikut piknik sama kita?” kata Ibu Saodah, guru TK-ku.
“Senengnya ada bapak-bapak…”
Bapak tersenyum-senyum saja bila digoda oleh para ibu temanku. Kehadirannaya menambah semarak suasana piknik kami karena Bapak orangnya humoris, suka membanyol dan supel. Kami piknik ke Gunung Kunci, Gunung Palasari, Cimalaka atau Cipanteneun. Sesampai di tempat tujuan, Bapak ikut sibuk membantu Mang Encu, pesuruh sekolah. Menurunkan anak-anak dari truk tentara. Maklum, sekolahnya kan punya Persit Kartika Chandra. Kami bisa menggunakan fasilitasnya.
Bapak agaknya ingin sekali memiliki anak laki-laki. Setiap tahun ditunggu dan didambakannya jagoannya itu.
Ndilala… ngaborojolna awewe deui, awewe deui!
Sering kerinduannya akan anak laki-laki itu dilampiaskannya kepada kami, anak-anak perempuannya. Itulah agaknya yang mendorong aku menjadi tomboy.
Saat di bulan Ramadhan, Bapak sibuk menggotong-gotong bambu besar.
“Kita bikin bedil lodong, ya?” ajaknya kepadaku, adikku En dan sepupuku El.
Kami memperhatikannya sampai Bapak memperagakan cara-caranya kepada kami.
“Isi air dulu lodongnya. Masukkan sedikit karbit. Tutup sebentar dengan kain. Nah, nyalakan sundutannya dan …”
Blaaar! Blaaar! Bleeeng!
Bunyinya menggelegar ke mana-mana. Kami bergantian menyundut bedil lodong itu. Tak tahan dengan omelan Eni dan Emih, main bedil lodongnya dilanjutkan di sawah dengan Bapak.
Itulah masa kanak-kanak yang menyenangkan.
Di mataku, Bapak adalah orang yang paling bisa diandalkan. Dia memiliki macam-macam kepandaian dan keterampilan. Pintar melukis, meniup seruling, memetik kecapi, pencak silat, dan bertukang. Menurutnya, semua anak punya kemapuan dan bakat dalam bidang apapun. Tinggal bagaimana cara anak itu mengembangkannya atau diarahkan orang tua. Bapak selalu menanamkan arti kedisiplinan dan kemandirian kepada anak-anak.
Di kemudian hari tidak satu pun dari anaknya yang mewarisi bakat ketentaraannya. Bakat melukis dan mendesain diwariskannya kepada En. Bakat meniup seruling dan memetik kecapi kepada Ry. Bakat gurunya kepada Vi dan Ed. Bakat wiraswastanya kepada Sy dan My. Sedangkan aku mewarisi bakatnya dalam berkesenian, jurnalistik dan menulis.
Walaupun sempat sangat mendambakan anak laki-laki, tetapi pada kenyataannya Bapak tak pernah pilih kasih. Buktinya, setelah kedua adik laki-laki lahir, perhatian dan kasih sayangnya tak berubah terhadap anak-anak perempuannya.
“Kamu anak sulung, Teteh. Kalau tak ada Bapak, kamulah yang harus bisa membantu Mak. Kamu harus bisa memimpin adik-adikmu,” pesannya setiap kali Bapak akan bertugas ke luar kota.
Jangan heran kalau mendapati aku atau En sedang berkutat memperbaiki genting bocor. Atau memperbaiki kabel listrik yang korsleting di atap rumah. Terkadang aku merasa, bagi Bapak semuanya harus bisa. Tak ada istilah tidak bisa. Semuanya bisa dipelajari. Begitulah motto hidupnya.
Setelah dua tahun duduk di Taman Kanak-Kanak Persit Kartika Chandra, akhirnya aku boleh sekolah di Sekolah Rakyat Sukaraja. Aku sudah diajari membaca dan menulis dengan ketat dan disiplin oleh Bapak. Jadi, saat masuk sekolah itu aku sudah bisa memba dan menulis. Hanya karena sering sakit dan jarang masuk sekolah, aku tak bisa menyerap proses pembelajaran dengan baik. Dari kelas satu sampai kelas tiga, prestasiku sedang-sedang saja.
Namun, saat kelas empat, prestasiku meningkat bagus. Bahkan, akhirnya mendapat predikat juara umum saat akan naik kelas lima. Itu memang mengherankan. Sebab masa-masa itu justru keluarga kami sedang ditimpa banyak kesulitan. Belakangan aku paham. Agaknya justru karena banyak tekanan itulah yang melecut semangat dan motivasiku untuk meraih prestasi.
Apabila tidak merasa sakit, aku seperti kebanyakan anak pada umumnya. Bisa main sepuasnya; manjat-manjat pohon, naik sepeda keliling Keputren, Regol sampai pasar. Pergi mengaji ke Pesantren Pagelaran, dan tentu saja sekolah dengan rajin.
Aku termasuk anak perempuan tomboy, kebanyakan bajuku celana pendek dan kemeja atau kaos. Tetapi aku memelihara rambut yang panjang dan lebat. Biasanya rambutku dikepang atau diekor kuda. Kalau tak bisa melakukannya aku minta bantuan kepada Bi Eha.
“Bikin repot orang saja. Sini, Eni potong rambutmu!” nenekku sering cerewet tentang rambut panjangku ini.
“Iiih, gak mauuuu!” aku lari terbirit-birit.
Dalam kurun waktu tertentu, entah apa yang membuat nenekku gregetan kepingin memotong rambutku. Biasanya untuk beberapa saat aku menghindari perjumpaan dengan nenekku.
Di halaman rumah yang luas aku mempunyai tempat favorit. Di sebuah batang jambu kukuh yang bercabang tiga, di antara cabangnya, aku nyaman bermain dan membaca di sana. Terutama saat bulan puasa.
Biasanya Mak akan menawarkan sebuah alternatif manis buatku, agar aku menuruti perintahnya. Sepulang mengaji aku diperbolehkan mampir ke taman buku bacaan. Saat itu aku sudah kecanduan buku bacaan. Buku-buku milik Bapak terbitan Balai Pustaka semuanya habis aku lahap. Bahkan buku-buku militer, arsip-arsip dan dokumen rahasia, materi pelajaran saat Bapak pendidikan kubaca juga.
Saat usia delapan tahun, aku sudah mengenal karya-karya Amir Hamzah, Armin Pane, Sanusi Pane, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar, Mansur Samin, Ajip Rosidi, Rustandi Kartakusumah, Mansur Samin, dan lain-lain.
Terjemahan yang aku sukai ketika itu adalah karya Jules Verne, Charles Dickens, dan tentu saja penulis favoritku Karl May. Serial Old Shuterhand dengan Winetou-nya, sungguh membuatku terpukau. Aku mengembara, melanglang buana (di tempat!) melalui karya besar pengarang Jerman yang belum pernah menginjak tanah Amerika, tetapi begitu pas menggambarkan suasananya. Setidaknya demikian menurut persepsiku kala itu.
Berkaitan dengan kecanduan buku ini, ada satu pengalaman yang membekas dalam ingatan. Ketika itu zamannya serba sulit. Kejadiannya sekitar tahun 1964-1965. Paceklik, wabah kolera dan disentri pun menyebar di mana-mana. Untuk mendapatkan sembilan bahan pokok orang harus berebutan. Di depan kantor pensiunan pada saat-saat tertentu orang mengantri beras, gula, minyak tanah, dan kebutuhan bahan pokok lainnya.
Keluargaku pun tak luput dari masa-masa sulit itu. Bapak bersama pasukan Siliwangi ditugaskan ke pedalaman Sulawesi. Memberantas gerombolan Kahar Muzakar. Kami hanya bisa makan nasi campur jagung. Terkadang nasi bulgur atau hanya tiwul dan jiwel.
Suatu hari Mak menyuruhku untuk membeli minyak tanah. Karena di kantor pensiunan tak ada persedian, aku harus membelinya di dekat pasar. Sambil menunggu antrian bergerak, aku melihat-lihat kios buku di samping pompa bensin.
“Weits… ini dia! Ada majalah Mangle, Langensari, Baranangsiang, Campaka, Sari,” decakku terkagum-kagum.
Semuanya majalah berbahasa Sunda. Aku tahu persis, di majalah Mangle dan Langensari sedang dimuat cerita bersambung karya Rustandi Kartakusumah. Sebelumnya aku hanya bisa menunggu lanjutan serial pengarang besar itu dari taman bacaan langganan Mak. Itu pun harus berebut dengan para penggemar lainnya.
Tanpa pikir panjang lagi, aku membeli kedua majalah itu!
Sambil membawa majalah itu aku ngeloyor ke alun-alun. Membacanya sambil tidur-tiduran di atas lingga. Yaitu sebuah tugu monumen, peninggalan zaman dahulu di tengah alun-alun Sumedang.
Begitu asyiknya aku membaca. Lupa segalanya!
Petang hari, akhirnya Mak berhasil juga melacak jejakku.
“Astaghfirullaaah!” jerit Mak dengan wajah merah padam. “Dari tadi ditunggu-tunggu minyak tanahnya, sampai batal masak! Mana minyak tanahnya, mannnaaa?”
Aku terdiam sambil memeluk majalah Mangle dan Langensari erat-erat di dadaku. Jerigen ukuran lima liter tergeletak di bawah tangga lingga. Mata Mak melotot hebat.
“Iiiih… ini anak!” dijewernya kupingku kuat-kuat.
Aku bergeming. Pantang menangis kalau bukan karena sakit!
Sepanjang jalan pulang, Mak merepet terus mengomeliku. Aku hanya terdiam, merasa bersalah. Sebagai hukuman Mak melarang aku main sepeda keliling Regol selama seminggu. Aku malah senang.
“Mending juga baca majalah kesayangan daripada keluyuran!” gumamku membatin.
Biasanya kemarahan Mak takkan lama-lama. Karena Mak pun termasuk kutu buku. Mak malah menungguiku selesai membaca majalah. Kemudian, Mak pun akan asyik membaca cerita bersambung Rustandi Kartakusumah.
Mak Isem telah lama meninggal dunia. Tinggal Bi Eha yang membantu kami. Karena keadaan ekonomi yang semakin morat-marit, tak lama kemudian Bi Eha terpaksa meninggalkan kami. Bi Eha lalu tinggal bersama anak angkatnya di Cirangkong, berjualan telur asin dan selai pisang keliling kampung.
Beberapa pengalaman yang takkan pernah aku lupakan, terus berseliweran mewarnai hari-hariku. Ada satu perjalanan ke Karawang untuk mengambil gaji Bapak dan beras catu. Sepanjang tahun itu, kami merasakan saat-saat sulit luar biasa. Eni telah menjual sawah peninggalan Aki. Jadi kami hidup mengandalkan gaji Bapak secara rutin. Entah bagaimana masalahnya, Mak harus mengambil gaji dan beras ke Karawang.
“Kenapa aku harus ikut?” tanyaku keheranan ketika Mak mengajakku menemaninya ke Karawang. Padahal Mak terbiasa bepergian seorang diri.
“Kita akan menumpang truk Mang Adang. Dia bukan muhrim Mak. Jadi, Mak takut ada fitnah orang,” jelas Mak panjang lebar.
Itulah pertama kalinya aku tahu tentang halal dan haram, muhrim dan nonmuhrim.
Rumah yang biasa ditempati oleh Mak dan anak-anak telah dikontrakkan. Jadi kami berdesakan menempati rumah utama. Jumlahnya ada delapan orang anak dan empat orang dewasa. Ada Eni, Emih, Uwak Anah dengan tiga putrinya, dan Mak dengan lima anaknya.
Ya, aku sudah memiliki empat orang adik kala itu. Mereka adalah En, Vi, Ry, dan Ed. Mak punya momongan seorang keponakannya, El. Dimomong sejak dia berusia setahun setengah. Ibunya, kakak Mak yang berkarier sebagai seorang guru di Labuan, Banten.
Dini hari Mak sudah menyiapkan keberangkatan itu. Mak terpaksa membawa si kecil, Ed yang masih bayi. Eni wanti-wanti dulu kepada Mang Adang dan kernetnya, agar menjaga kami baik-baik. Mang Adang masih kerabat jauh Eni dari Cianjur. Hari itu dia akan mengangkut pasir dari Karawang. Pulangnya kami boleh ikut menumpang kembali.
Di bak belakang yang masih kosong, tampak beberapa orang yang ikut menumpang. Ada saudagar beras, pedagang sayuran, dan entah siapa lagi. Tetapi yang jelas, hanya Mak perempuan dewasanya.
Memasuki kawasan Karawang, barulah mataku terbuka lebar-lebar. Barangkali, mabuknya sudah lewat, perutku kenyang soto dan buah jeruk yang segar. Aku sangat terpukau dengan pemandangan sekelilingnya. Karawang sedang banjir besar!
Ya, air di mana-mana. Air melaut dan menyamudra. Kotakan-kotakan sawah hancur, rumah-rumah terbenam ke dalam air setinggi enam meteran… Gusti Allah!
“Pantaslah kita paceklik. Lumbung Jawa Barat hancur lebur seperti ini,” keluh Mak sambil memeluk si kecil erat-erat.
Di asrama tentara di Teluk Jambe kami turun. Mang Adang akan melanjutkannya ke tempat penampungan pasir. Tampak seorang rekan Bapak sudah menanti, beberapa istri prajurit menyongsong kami.
“Deudeuh teuing…,”3 komentar mereka sambil mengelus kepalaku.
Ada juga yang segera menyediakan penganan dan minuman. Mereka merasa simpati dan iba dengan keadaan kami. Rupanya kabar tentang kesengsaraan keluarga prajurit di Sumedang sudah menyebar ke Karawang. Bahwa kami sudah lama tak bisa lagi makan nasi utuh dengan lauknya.
Mereka segera patungan memberi kami barang-barang yang dibutuhkan. Ada yang memberi gula, kopi, terigu, dan ikan kering, ada juga yang memberi beras catu.
Mak bercucuran peluh, tapi wajahnya penuh rasa syukur dengan rezeki yang sudah kami peroleh. Malam harinya kami boleh menginap di mess Teluk Jambe. Esoknya ada kabar duka truk Mang Adang tak bisa menjemput kami. Mang Adang mendapat kecelakaan di perjalanan. Saat dia dan kernet akan mengangkut pasir, truknya terbawa arus sungai Citarum.
“Semoga Allah Swt. memberi tempat yang layak untuk kedua orang yang baik hati itu, ya Neng,” ucap Mak.
“Amin…” sahutku.
Perjalanan pulang ditempuh dengan beberapa kali ganti kendaraan. Jarang sekali ada kendaraan yang mau melintasi kawasan banjir. Kami terpaksa harus naik sampan. Bawaan kami yang banyak ternyata sangat membebani. Sehingga di Cikampek, Mak terpaksa melepas sebagian bawaannya.
“Mak menjual semuanya?” tanyaku ingin tahu.
Mak mengangguk. “Iya Neng, tapi yang penting berasnya bisa kita pertahankan sampai Sumedang,” sahutnya tandas.
Demikian satu-dua kali aku sempat menemani Mak ke Karawang. Hingga suatu saat aku kembali jatuh sakit. Karena sangat membutuhkan uang dan beras catunya, Mak terpaksa pergi juga ke Karawang. Meninggalkan aku dalam keadaan sakit parah.
Itulah untuk pertama kalinya aku merasa sungguh menderita, harus menanggung kesakitan seorang diri. Apalagi karena pada saat yang bersamaan Eni pun ikut jatuh sakit. Jadi Eni tak bisa merawatku. Bahkan Eni membutuhkan perawatan orang lain.
Orang serumah jadi terpecah perhatiannya. Ya, memikirkan orang sakit, juga memikirkan Mak yang pergi bersama dua orang anak kecil. Ry yang berumur setahun setengah dan Ed yang masih bayi. Belum lagi memikirkan bagaimana caranya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Persediaan beras dan makanan sudah habis sama sekali. Sementara ada banyak perut yang harus diisi!
“Biar kita buat lagi lagi warungnya, ya, Bu?” usul Uwak Anah kepada Eni yang tak berdaya di atas pembaringannya.
Eni menyetujui usul kakak Mak yang masih menjanda itu. Sebelumnya memang sudah ada warung kecil-kecilan, menjual perabotan rumah tangga. Sekali ini Uwak Anah mengusulkan untuk berjualan kebutuhan sehari-hari. Maka, Emih yang memang sudah berpengalaman berdagang di Cimahi, menjalankan modal pinjaman dari Uwak Anah itu.
Sejak saat itu sampai beberapa waktu lamanya, aku menyaksikan keterampilan Emih dalam berdagang bakul sayuran.
“Makanlah buah-buahan ini,” kata Emih setiap pulang dari pasar.
Buah-buahan, penganan, dan nasi putih yang entah diperoleh Emih dari mana, semuanya diberikan kepadaku. Sering secara sembunyi-sembunyi. Agaknya, biar aku tidak terganggu yang lain dan cepat sembuh. Tetapi sebagian besar aku berikan kepada En, Vi, El. Lidah orang sakit, berapalah banyaknya bisa mengecap makanan selezat apapun?
Ketika Mak dan kedua adik kecil kembali ke Sumedang sebulan kemudian, keadaanku sudah sangat parah. Tubuh kurus kecil, perut buncit, mata kuning.Ya, sekujur badanku tampak menguning!
“Kenapa Mak pergi lama sekali?” gugatku.
“Mak juga sakit. Lihat nih, leher Mak bisulan,” Mak sambil memperlihatkan benjolan sebesar kepala orang dewasa di bagian lehernya. “Adik-adikmu juga gantian jatuh sakit. Mak sampai berpikir, kedua adikmu itu tak bisa sembuh lagi,” jelasnya pula.
Kami berkumpul kembali. Namun, untuk beberapa minggu kemudian Mak harus direpotkan oleh anak sulungnya ini. Seluruh perhatian Mak tercurah untukku. Mungkin, Mak merasa amat bersalah meninggalkan aku dalam keadaan sakit kala itu.
Aku dirawat intensif oleh seorang dokter keturunan Jerman berpraktik di RS. Silih Asih. Satu-satunya rumah sakit swasta termahal di Sumedang ketika itu. Entah dari mana Mak memperoleh uang untuk biaya pengobatanku. Yang jelas, Mak sampai berutang sana-sini. Menjual semua barang berharga yang masih dimilikinya. Termasuk cincin kawinnya.
Tampak Emih pun ikut berjuang keras, meringankan beban keluarga kami.
“Apa sakitku ini, Mak?” tanyaku saat sudah mulai bisa bermain lagi keluar rumah.
“Dokter Fritz bilang, kamu sakit kuning.”
Semua orang mendadak menaruh perhatian kepadaku. Ada yang simpati. Tetapi banyak juga yang antipati, takut tertular. Karena menurut pandangan sebagian besar orang saat itu, penyakit kuning sangat menular!
@@@